Karakteristik Pendidikan Sekolah Dasar pada Era Orde Baru (1966-1998): Represi, Nasionalisme, dan Modernisasi yang Tak Merata

Darma Kai

Pendidikan Sekolah Dasar (SD) di Indonesia selama era Orde Baru (Orba, 1966-1998) merupakan periode yang kompleks dan penuh kontradiksi. Dibentuk di bawah rezim otoriter Soeharto, sistem pendidikan SD mengalami transformasi signifikan, diwarnai oleh upaya pemerintah untuk membangun nasionalisme, modernisasi, dan pembangunan ekonomi, namun juga dibayangi oleh represi, sentralisasi, dan ketidakmerataan akses. Pengaruh Orba terhadap SD terwujud dalam berbagai aspek, mulai dari kurikulum, metode pengajaran, hingga infrastruktur dan akses pendidikan. Artikel ini akan mengulas secara detail karakteristik pendidikan SD pada era tersebut dari berbagai perspektif.

1. Kurikulum dan Pengajaran Berbasis Nasionalisme dan Pembangunan

Kurikulum SD di era Orba secara kuat menekankan pada nasionalisme dan Pancasila. Mata pelajaran kewarganegaraan dan pendidikan Pancasila menjadi inti dari proses pendidikan, bertujuan untuk menanamkan rasa cinta tanah air dan kepatuhan pada ideologi negara. Buku teks pelajaran pun direvisi dan dikontrol ketat oleh pemerintah untuk memastikan kesesuaian dengan ideologi Orba. Hal ini tercermin dalam penyederhanaan sejarah nasional yang cenderung memuliakan rezim Soeharto dan mengabaikan kritik terhadapnya.

Selain nasionalisme, kurikulum juga diarahkan untuk mendukung program pembangunan ekonomi pemerintah. Mata pelajaran keterampilan dan vokasional mulai diperkenalkan, meskipun implementasinya masih terbatas dan tidak merata. Tujuannya adalah untuk mempersiapkan generasi muda yang terampil dan mampu berkontribusi pada pembangunan ekonomi nasional. Namun, fokus yang kuat pada pembangunan ekonomi seringkali mengabaikan aspek-aspek penting lainnya seperti pengembangan kreativitas dan berpikir kritis. Kurikulum cenderung bersifat preskriptif dan kurang memberikan ruang bagi pembelajaran yang berpusat pada siswa. Metode pengajaran yang diterapkan pun umumnya masih bersifat tradisional, yaitu ceramah dan menghafal. Interaksi guru-siswa yang lebih aktif dan metode pembelajaran yang inovatif masih sangat minim. Hal ini berdampak pada kualitas pembelajaran yang kurang optimal dan kurang mampu memicu perkembangan potensi siswa secara menyeluruh.

BACA JUGA:   Biaya Masuk SDIT Al Mardhiyah

2. Sentralisasi dan Kontrol Pemerintah yang Ketat

Pemerintah Orba memegang kendali penuh atas sistem pendidikan, termasuk pendidikan SD. Kurikulum, buku teks, dan metode pengajaran ditentukan secara sentral oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud). Otonomi sekolah dan guru dalam mengembangkan program pembelajaran sangat terbatas. Hal ini menciptakan sistem pendidikan yang kaku dan kurang responsif terhadap kebutuhan lokal dan keragaman budaya di Indonesia.

Sentralisasi ini juga berdampak pada pengawasan yang ketat terhadap guru dan sekolah. Guru diwajibkan mengikuti pelatihan dan seminar yang diselenggarakan oleh pemerintah, dan kinerja mereka dievaluasi secara berkala. Sekolah yang dinilai tidak memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah bisa mendapatkan sanksi. Meskipun upaya ini bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan, sentralisasi yang berlebihan justru membatasi kreativitas dan inovasi dalam dunia pendidikan. Guru dan sekolah memiliki sedikit ruang untuk bereksperimen dan mengembangkan metode pembelajaran yang sesuai dengan konteks lokal dan karakteristik siswanya.

3. Perkembangan Infrastruktur dan Akses Pendidikan yang Tidak Merata

Pemerintah Orba melakukan upaya pembangunan infrastruktur pendidikan, termasuk pembangunan sekolah-sekolah SD di berbagai wilayah. Program ini bertujuan untuk meningkatkan akses pendidikan bagi anak-anak di daerah terpencil dan tertinggal. Namun, pembangunan infrastruktur ini juga tidak merata, dan akses pendidikan masih menjadi kendala bagi anak-anak di daerah-daerah terpencil dan miskin. Kualitas sekolah dan fasilitas pendidikan juga sangat bervariasi, tergantung pada lokasi dan ketersediaan sumber daya. Di kota-kota besar, sekolah-sekolah cenderung memiliki fasilitas yang lebih baik dibandingkan dengan sekolah-sekolah di daerah pedesaan.

Keterbatasan akses pendidikan juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Banyak keluarga miskin yang tidak mampu membiayai pendidikan anak-anak mereka, termasuk biaya seragam sekolah, buku tulis, dan biaya transportasi. Ini menyebabkan angka putus sekolah masih cukup tinggi, terutama di kalangan anak-anak dari keluarga kurang mampu. Ketimpangan akses pendidikan ini memperparah kesenjangan sosial dan ekonomi di Indonesia.

BACA JUGA:   Pondok Pesantren di Sidoarjo, Jawa Timur

4. Pengaruh Ideologi Orba terhadap Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter di era Orba sangat dipengaruhi oleh ideologi Pancasila dan pembangunan nasional. Nilai-nilai yang ditekankan antara lain adalah disiplin, kerja keras, dan nasionalisme. Namun, penanaman nilai-nilai ini seringkali dilakukan secara doktrinatif dan kurang menekankan pada pengembangan moralitas dan etika secara menyeluruh. Aspek kritik dan kebebasan berpikir cenderung ditekan, sehingga siswa cenderung pasif dan tidak kritis. Hal ini berdampak pada kurang berkembangnya kemampuan siswa untuk berpikir kritis, memecahkan masalah, dan berinovasi.

Lebih lanjut, pendidikan karakter pada era ini kurang memberikan ruang bagi perkembangan individualitas siswa. Standar yang kaku dan seragam sering kali mengabaikan perbedaan minat, bakat, dan kemampuan siswa. Kurikulum yang kaku dan kurang berorientasi pada pembelajaran aktif dan bermakna turut mempengaruhi perkembangan moral dan karakter siswa.

5. Peran Guru dan Pendidikan Guru

Peran guru dalam sistem pendidikan Orba sangat penting. Guru dibebani tanggung jawab untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila dan mendukung program pembangunan. Namun, status sosial dan ekonomi guru cenderung rendah, yang berdampak pada motivasi dan profesionalisme mereka. Pendidikan guru sendiri juga masih perlu ditingkatkan, mengingat metode pengajaran yang masih tradisional dan kurangnya pelatihan dalam pengembangan metode pembelajaran yang inovatif dan berpusat pada siswa. Gaji guru yang relatif rendah dan kurangnya fasilitas pendukung profesi turut memengaruhi kualitas pendidikan yang diberikan. Terbatasnya akses terhadap pelatihan profesional dan pengembangan keprofesian berkelanjutan juga menyulitkan guru untuk meningkatkan kompetensi dan menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

6. Warisan dan Dampak Jangka Panjang

Pendidikan SD di era Orba meninggalkan warisan yang kompleks. Di satu sisi, terdapat upaya untuk meningkatkan akses pendidikan dan membangun infrastruktur, namun di sisi lain terdapat pula sentralisasi yang berlebihan dan ketidakmerataan akses pendidikan. Sistem pendidikan yang kaku dan kurang berorientasi pada pembelajaran aktif berdampak pada kualitas pendidikan dan perkembangan siswa. Dampak jangka panjang dari sistem pendidikan Orba masih terasa hingga saat ini, meliputi kesenjangan pendidikan yang masih lebar, perlu adanya reformasi kurikulum yang berkelanjutan, dan peningkatan kualitas guru. Pengalaman era Orba menjadi pembelajaran penting dalam upaya untuk membangun sistem pendidikan yang lebih demokratis, merata, dan bermutu di masa depan. Upaya untuk membangun pendidikan karakter yang holistik, yang tidak hanya menekankan kepatuhan namun juga kritisitas dan kreativitas, menjadi tantangan yang perlu dijawab oleh sistem pendidikan Indonesia.

Also Read

Bagikan:

Tags